Bagi masyarakat kota, jembatan mungkin sekadar penghubung biasa. Namun bagi warga Jengok, jembatan ini adalah urat nadi kehidupan. Setiap langkah kaki di atas bilah-bilah bambu licin itu adalah taruhannya nyawa.
Jembatan Sukarela yang Jadi Nyawa Kampung
Jembatan ini dibangun bertahun-tahun silam, bukan oleh kontraktor, melainkan oleh tangan-tangan warga sendiri. Mereka bekerja bergotong royong, memotong bambu dari hutan, mengikatnya dengan tali seadanya, dan menegakkannya di antara dua pohon besar di tepi sungai. Tidak ada bantuan alat berat, apalagi dukungan proyek pemerintah.
Kini, jembatan itu semakin renta. Beberapa batang bambu sudah mulai lapuk. Tali pengikatnya pun tampak mengendur. Namun tak ada pilihan lain. Setiap hari, jembatan tua ini tetap mereka lalui — anak-anak berangkat sekolah, petani membawa hasil kebun, dan warga melintas demi sekadar berbelanja kebutuhan di kampung seberang.
“Kalau musim hujan begini, kami takut lewat. Tapi mau bagaimana lagi? Ini satu-satunya jalan,” ujar seorang warga dengan wajah cemas.
Saat Hujan Menjadi Ancaman
Ketika hujan turun deras, air sungai naik dengan cepat. Arusnya menghantam akar-akar pohon besar yang menopang jembatan. Kadang, ranting dan batang kayu besar hanyut menghantam kaki-kaki bambu yang sudah rapuh. Tak jarang warga harus menunggu berjam-jam hingga air mulai surut untuk bisa menyeberang.
Situasi ini bukan hanya menyulitkan, tetapi juga berbahaya. Banyak anak-anak terpaksa tidak bersekolah saat hujan deras karena takut menyeberang. Beberapa warga bahkan harus memutar jauh, melintasi hutan selama berjam-jam, jika jembatan ini rusak atau hanyut terbawa arus.
Ketimpangan yang Terasa Nyata
Di saat sebagian wilayah lain di Manggarai Barat menikmati jalan aspal mulus dan jembatan beton kokoh, warga Kampung Jengok masih bertahan dengan bambu dan doa. Potret ini memperlihatkan betapa timpangnya pemerataan pembangunan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.
Kampung Jengok bukan tak ingin maju. Mereka ingin anak-anak mereka bersekolah tanpa rasa takut, ibu-ibu bisa membawa hasil kebun ke pasar dengan aman, dan para petani bisa menyeberang tanpa harus menantang maut.
Sayangnya, hingga kini, belum ada perhatian serius dari pihak terkait. Tak ada proyek yang menyentuh wilayah ini, bahkan sekadar survei pun jarang dilakukan.
Harapan dari Ujung Jembatan
Meski penuh keterbatasan, semangat warga Jengok tak pernah padam. Mereka tetap bergotong royong memperbaiki jembatan setiap kali rusak. Mereka percaya, selama ada kebersamaan, mereka bisa bertahan. Namun, mereka juga berharap agar suara mereka didengar.
Bahwa pembangunan tidak hanya berhenti di kota dan pusat wisata. Bahwa di balik hutan Mbeliling yang hijau, ada kampung kecil yang menanti perhatian — menunggu jembatan yang lebih layak agar hidup mereka lebih aman dan bermartabat.
Kampung Jengok mungkin terpencil, tetapi kisahnya menggema. Ia menjadi cermin kecil dari persoalan besar: masih banyak wilayah di Indonesia Timur yang belum merasakan keadilan infrastruktur. Sebuah ironi di tengah geliat pariwisata dan pembangunan besar-besaran yang terus digembar-gemborkan di Manggarai Barat.
Sudah saatnya, langkah kecil menuju perubahan dimulai dari ujung jembatan bambu ini — agar warga Jengok tak lagi berjalan di atas ketakutan, tetapi di atas harapan.