![]() |
Jelajahi Wae Lolos/infosatu doc |
Desa kecil yang dulunya hanya dikenal oleh segelintir orang, kini mulai menyapa dunia. Wae Lolos, yang dulunya sunyi, kini semakin ramai dikunjungi oleh para pelancong — baik dari kampung sebelah maupun dari benua seberang. Jumlah kunjungan meningkat dari bulan ke bulan. Air Terjun Cunca Plias, Kolam di Atas Awan, dan jalur trekking penuh kicauan burung endemik mulai ramai oleh langkah-langkah baru yang penasaran akan keindahannya.
Bagi kami yang tinggal di sini, peningkatan ini adalah sebuah kebanggaan. Desa kami, yang dahulu dianggap tak memiliki nilai ekonomi, kini menjadi tempat yang dicari. Namun, di balik kebanggaan itu, kami juga menyadari: ini bukan hanya tentang angka kunjungan, tapi tentang bagaimana kami bisa terus menjadi diri sendiri dalam perubahan yang cepat ini.
🌱 Pencapaian yang Tumbuh dari Akar Sendiri
Wae Lolos tidak dibangun oleh investasi besar, bukan pula oleh perusahaan-perusahaan pariwisata. Ia tumbuh dari keyakinan warga sendiri — bahwa apa yang mereka miliki: alam, budaya, dan keramahan — cukup untuk membuat dunia datang.
![]() |
Jelajahi Wae Lolos/infosatu doc |
Anak-anak muda membuat konten promosi. Warga membersihkan jalur trekking bersama. Pengrajin mulai memproduksi kembali topi-topi anyaman dan kopi lokal dijajakan di tepi jalan setapak. Semua lahir dari semangat gotong royong.
Inilah pencapaian sejati: ketika masyarakat menjadi pelaku utama, bukan penonton dalam pembangunan desanya sendiri.
⚖️ Namun, Pencapaian Ini Membawa Pertanyaan-Pertanyaan Baru
Namun kami tahu, jika tidak dikelola dengan baik, keberhasilan bisa berubah menjadi beban. Setiap tamu yang datang membawa serta perubahan: dalam cara kami melihat diri, dalam kebiasaan yang mulai bergeser, dan dalam nilai-nilai yang mulai diuji.
Pertanyaan-pertanyaan pun muncul:
Apakah kami bisa terus mempertahankan identitas budaya kami di tengah tuntutan pasar yang ingin semua terlihat "instagramable"?
Apakah keramahan kami akan tetap tulus, atau berubah menjadi sekadar layanan jasa?
Apakah pembagian manfaat ekonomi dari pariwisata bisa tetap adil, atau hanya dinikmati oleh segelintir orang?
Dan apakah generasi muda akan tetap mau menjaga adat dan cerita lama, atau justru merasa asing di tanah sendiri?
🛠️ Pengelolaan Berbasis Masyarakat: Jalan Panjang yang Tidak Mudah
Kami memilih jalan pengelolaan berbasis masyarakat bukan karena itu mudah, tapi karena itu satu-satunya cara agar desa tetap menjadi milik warganya. Di jalan ini, semua pihak dilibatkan: petani, pemuda, ibu rumah tangga, tetua adat, hingga anak-anak sekolah.
Tapi jalannya tidak selalu mulus. Ada kalanya perbedaan pendapat muncul. Ada masa-masa lelah karena kerja sukarela yang tak selalu dihargai. Namun di situlah justru kami belajar — bahwa membangun desa bukanlah tentang cepat, tapi tentang tumbuh bersama.
![]() |
Jelajahi Wae Lolos/putra tunggal/infosatu doc |
Kami tahu, untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dalam arus kunjungan yang deras, dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk berkata tidak pada hal-hal yang merusak, dan keberanian untuk memperbarui hal-hal yang sudah tidak relevan, tanpa meninggalkan akar.
💡 Menuju Keberlanjutan: Mimpi yang Tidak Boleh Luntur
Kini, saat banyak mata mulai melihat ke Wae Lolos, kami tahu kami sedang berada di persimpangan. Apakah kami ingin sekadar menjadi tempat wisata? Atau kami ingin menjadi desa yang hidup, yang menyapa dunia tanpa kehilangan dirinya sendiri?
Jawaban kami jelas: kami ingin menjadi desa yang tetap punya wajah sendiri.
Karena itu, peningkatan kunjungan ini bukan akhir dari cerita. Ini baru permulaan dari babak baru — babak di mana kami harus terus belajar, terus memperbaiki diri, dan terus berdialog: antara warga dengan warga, antara warga dengan tamu, antara masa lalu dengan masa depan.
> Di sinilah letak tantangan sesungguhnya: bagaimana menjaga semangat kolektif dan nilai-nilai budaya di tengah peluang ekonomi yang terus menggoda.
Kunjungi website kami :
Jika desa lain ingin belajar dari kami, kami tidak akan menawarkan resep instan. Tapi kami akan menawarkan cerita: tentang kegigihan, ejekan yang berubah jadi semangat, dan kepercayaan bahwa dari tempat terpencil pun, suara bisa terdengar sampai jauh — asal disuarakan bersama.